Rabu, 18 Februari 2015

Orang Baik




"Ada dua jenis orang baik di dunia ini
yang aku temukan sepanjang melakukan
perjalanan," ujarku pada temanku suatu
sore.
"Bagaimana kamu bisa
mengklasifikasikannya menjadi dua?"
tanya temanku heran.
"Dengan menemukan mereka dan
mengetahui potongan hidupnya",
jawabku.
Temanku mengernyitkan dahinya.
"Orang baik jenis pertama adalah orang-
orang yang sedari kecil terjaga, memiliki
lingkungan tumbuh yang baik, memiliki
orang tua yang baik, teman yang baik,
hingga mereka hampir tidak pernah
bersinggungan dengan hal-hal buruk
dengan kadar serius. Hanya kenakalan
kecil yang masih wajar"
"Yang kedua?" tanyanya.
"Orang baik yang kedua adalah orang-
orang yang dulunya bukan orang baik,
tapi berubah menjadi orang baik. Orang
jenis ini lebih banyak daripada jenis
pertama. Mereka adalah orang-orang
yang berhasil keluar dari kelam hidup
sebelumnya," tambahku.
"Aku mengerti, cerita orang pertama itu
sebagaimana Rasululloh. Ia terjaga bahkan
sejak lahirnya. Orang kedua adalah
seperti sahabat-sahabat nabi, mereka
adalah orang-orang dengan masa lalu
yang kelam, tapi berhasil keluar dari
semua itu dan menjadi orang yang luar
biasa baik,"
"Iya dan saat ini orang jenis kedua ini
biasanya lebih bijaksana dalam
menghadapi hidup karena mereka tahu
dan pernah menjadi orang jahat", aku
melengkapi.
"Apakah kita termasuk orang baik jenis
kedua?" tanyanya.
"Aku harap kita demikian. Aku
menemukan di luar sana banyak orang
ingin menjadi baik, tapi tidak tahu
caranya. Ada yang ingin menjadi baik,
tapi orang lain sibuk mencacinya dan
menganggapnya cari muka. Mereka ingin
mengubah dirinya, tapi lingkungan justru
tidak mendukungnya. Mereka ingin
mengubur masa lalunya yang kelam, tapi
orang lain senang sekali menggalinya."
Kami berdua tenggelam dalam pikiran
masing-masing.
"Apakah kiranya ada orang yang bisa
menerima kita dengan masa lalu sekelam
ini?" tiba-tiba kawanku ini bertanya resah.
"Maksudmu?" aku ingin memperjelas
pertanyaannya.
"Orang yang bisa menerima orang seperti
kita menjadi pasangan hidupnya? Bahkan
aku takut untuk memikirkan itu karena
aku merasa tidak cukup pantas untuk
itu", tatapnya kosong.
Aku ikut menatap langit-langit dengan
kosong.
"Entahlah, bila ia bisa menerima.
Mungkin ia bukan orang, mungkin
malaikat", jawabku.
Kami tenggelam dalam keresahan kami
masing-masing.
Rumah, 9 Februari 2015 |
(C)kurniawangunadi

0 komentar:

Posting Komentar