Kamis, 25 Oktober 2012

Kedudukan Niat Dalam Amal


 


"Dari Amirul Mukminin, Umar bin Khatthab radhiallahu 'anhu, beliau berkata: Sesungguhnya
seluruh amalan itu bergantung pada niatnya dan setiap orang akan mendapatkan ganjaran sesuai
dengan apa yang diniatkannya. Barang siapa yang berhijrah karena Allah dan rasul-Nya, maka
hijrahnya menuju keridhaan Allah dan rasul-Nya. Barang siapa yang berhijrah karena mencari
dunia atau karena ingin menikahi seorang wanita, maka hijrahnya tersebut kepada apa yang dia
tuju." (HR. Bukhari no. 1, Muslim no. 155, 1907)

Kedudukan Hadits
Hadits ini begitu agung hingga sebagian ulama salaf mengatakan, "Hendaknya hadits ini
dicantumkan di permulaan kitab-kitab yang membahas ilmu syar'i." Oleh karena itu Imam Al
Bukhari memulai kitab Shahih-nya dengan mencantumkan hadits ini. Imam Ahmad berkata,
"Poros agama Islam terletak pada 3 hadits, yaitu hadits Umar إنما العمال بالنيات , hadits 'Aisyah
من أحدث في أمرنا هذا ما ليس منه فهو رد , dan hadits An Nu'man bin Basyir الحلل بين والحرام
ن بي ." Perkataan beliau ini memiliki maksud, yaitu bahwasanya amalan seorang mukallaf berkisar
antara melaksanakan perintah dan meninggalkan larangan. Dua hal ini termasuk dalam perkara
halal atau haram, selain itu terdapat jenis ketiga yaitu perkara syubhat yang belum diketahui
secara jelas hukumnya, dan ketiga perkara ini terdapat dalam hadits An Nu'man bin Basyir. Dan
telah diketahui bersama, seorang yang hendak mengamalkan sesuatu, baik melaksanakan suatu
perintah atau meninggalkan larangan harus dilandasi dengan niat agar amalan tersebut benar.
Maka nilai suatu amal bergantung kepada adanya niat yang menentukan amalan tersebut apakah
benar dan diterima. Dan segala perkara yang diwajibkan atau dianjurkan Allah 'Azza wa Jalla
harus diukur dengan timbangan yang pasti sehingga amalan itu sah dan hal ini ditentukan oleh
hadits 'Aisyah di atas.
Sehingga hadits ini senantiasa dibutuhkan di setiap perkara, di saat melaksanakan perintah,
meninggalkan larangan dan ketika berhadapan dengan perkara syubhat. Berdasarkan hal itu,
kedudukan hadits ini begitu agung, karena seorang mukallaf senantiasa membutuhkan niat, baik
dalam melaksanakan perintah dan meninggalkan perkara yang haram atau syubhat. Semua
perbuatan tersebut itu tidak akan bernilai kecuali diniatkan untuk mencari wajah Allah Jalla wa
'Alaa.
Tafsiran Ulama Mengenai "Sesungguhnya Seluruh Amalan Itu Bergantung Pada
Niatnya"
Terdapat beberapa lafadz dalam sabda beliau إنما العمال بالنيات terkadang lafadz النية dan العمل
disebutkan dalam bentuk tunggal atau jamak walaupun demikian kedua bentuk tersebut memiliki
makna yang sama, karena lafadz العمل dan النية dalam bentuk tunggal mencakup seluruh jenis
amalan dan niat.
Di dalam sabda beliau [Sesungguhnya seluruh amalan itu bergantung pada niatnya dan setiap
orang akan mendapatkan ganjaran sesuai dengan apa yang diniatkannya] terkandung
pembatasan. Karena lafadz "innama" merupakan salah satu lafadz pembatas seperti yang
dijelaskan oleh ahli bahasa. Pembatasan tersebut mengharuskan setiap amalan dilandasi dengan
niat, Terdapat beberapa pendapat mengenai maksud sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam إنما
.العمال بالنيات
Pendapat pertama, mengatakan sesungguhnya maksud dari sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa
sallam ات  ال بالني  إنما العم yaitu keabsahan dan diterimanya suatu amalan adalah karena niat
yang melandasinya, sehingga sabda beliau ini berkaitan dengan keabsahan suatu amalan dan
sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam selanjutnya وإنما لكل امرئ ما نوى maksudnya adalah
seseorang akan mendapatkan ganjaran dari amalan yang dia kerjakan sesuai dengan niat yang
melandasi amalnya.
Pendapat kedua mengatakan bahwa sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam إنما العمال بالنيات
menerangkan bahwa sebab terjadi suatu amalan adalah dengan niat, karena segala amalan yang
dilakukan seseorang mesti dilandasi dengan keinginan dan maksud untuk beramal, dan itulah
niat. Maka faktor pendorong terwujudnya suatu amalan, baik amalan yang baik maupun yang
buruk adalah keinginan hati untuk melakukan amalan tersebut. Apabila hati ingin melakukan
suatu amalan dan kemampuan untuk melakukannya ada, maka amalan tersebut akan terlaksana.
Sehingga maksud sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam ات  ال بالني  ا العم  إنم adalah amalan
akan terwujud dan terlaksana dengan sebab adanya niat, yaitu keinginan hati untuk melakukan
amalan tersebut. Dan sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam وإنما لكل امرئ ما نوى memiliki
kandungan bahwa ganjaran pahala akan diperoleh oleh seseorang apabila niatnya benar, apabila
niatnya benar maka amalan tersebut merupakan amalan yang shalih.
Pendapat yang kuat adalah pendapat pertama, karena niat berfungsi mengesahkan suatu amalan
dan sabda beliau [Sesungguhnya seluruh amalan itu bergantung pada niatnya dan setiap orang
akan mendapatkan ganjaran sesuai dengan apa yang diniatkannya] adalah penjelasan terhadap
perkara-perkara yang dituntut oleh syari'at bukan sebagai penjelas terhadap seluruh perkaraperkara
yang terjadi.
Kesimpulannya, pendapat terkuat dari dua tafsiran ulama di atas mengenai maksud dari sabda
beliau shallallahu 'alaihi wa sallam [Sesungguhnya seluruh amalan itu bergantung pada niatnya]
adalah keabsahan amalan ditentukan oleh niat dan setiap orang mendapatkan ganjaran dan
pahala sesuai dengan apa yang diniatkan.
Definisi Amal
العمال adalah bentuk jamak dari العمل , yaitu segala sesuatu yang dilakukan seorang mukallaf
dan ucapan termasuk dalam definisi ini. Yang perlu diperhatikan maksud amal dalam hadits
tersebut tidak terbatas pada ucapan, perbuatan atau keyakinan semata, namun lafadz العمال
dalam hadits di atas adalah segala sesuatu yang dilakukan mukallaf berupa perkataan, perbuatan,
ucapan hati, amalan hati, perkataan lisan dan amalan anggota tubuh. Maka seluruh perkara yang
berkaitan dengan iman termasuk dalam sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam [Sesungguhnya
seluruh amalan itu bergantung pada niatnya] karena iman terdiri dari ucapan (baik ucapan lisan
maupun ucapan hati) dan amalan (baik amalan hati dan amalan anggota tubuh). Maka seluruh
perbuatan mukallaf tercakup dalam sabda beliau di atas.
Namun keumuman lafadz العمال dalam hadits ini tidaklah mutlak, karena yang dimaksud dalam
hadits tersebut hanya sebagian amal saja, tidak mutlak walaupun lafadznya umum. Hal ini dapat
diketahui bagi mereka yang telah mempelajari ilmu ushul. Karena segala amalan yang tidak
dipersyaratkan niat untuk mengerjakannya tidaklah termasuk dalam sabda beliau [Sesungguhnya
seluruh amalan itu bergantung pada niatnya], seperti meninggalkan keharaman, mengembalikan
hak-hak orang yang dizhalimi, menghilangkan najis dan yang semisalnya.
Permasalahan Niat
Jika niat adalah keinginan dan kehendak hati, maka niat tidak boleh diucapkan dengan lisan
karena tempatnya adalah di hati karena seseorang berkeinginan atau berkehendak di dalam
hatinya untuk melakukan sesuatu. Maka amalan yang dimaksud dalam hadits ini adalah amalan
yang dilandasi dengan keinginan dan kehendak hati, atau dengan kata lain amalan yang disertai
pengharapan untuk mendapatkan wajah Allah. Oleh karena itu makna niat ditunjukkan dengan
lafadz yang berbeda-beda. Terkadang dengan lafadz الرادة dan terkadang dengan lafadz البتغاء
atau lafadz lain yang semisalnya.
Seperti firman Allah,

"Itulah yang lebih baik bagi orang-orang yang mencari wajah Allah; dan mereka Itulah orangorang
beruntung." (QS. Ar Ruum: 38)

"Dan janganlah kamu mengusir orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan petang hari,
sedang mereka menghendaki wajah-Nya." (QS. Al An'am: 52)

"Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan
senja hari dengan mengharap wajah-Nya." (QS. Al Kahfi: 28)
Atau firman Allah yang semisal dengan itu seperti,

"Barang siapa yang menghendaki Keuntungan di akhirat akan Kami tambah Keuntungan itu
baginya." (QS. Asy Syuura: 20)
Atau dengan lafadz البتغاء seperti firman Allah,
,

"Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka, kecuali bisikan-bisikan dari orang
yang menyuruh (manusia) memberi sedekah, atau berbuat ma'ruf, atau mengadakan perdamaian
di antara manusia. dan Barang siapa yang berbuat demikian karena mencari keridhaan Allah,
Maka kelak Kami memberi kepadanya pahala yang besar." (QS. An Nisaa': 114)

"Tetapi (dia memberikan itu semata-mata) karena mencari keridhaan Tuhannya yang Maha
tinggi." (QS. Al Lail: 20)
Sehingga lafadz niat dalam nash-nash Al Quran dan Sunnah terkadang ditunjukkan dengan lafadz
الرادة , lafadz البتغاء atau lafadz لم  الس yang bermakna ketundukan hati dan wajah kepada
Allah.
Makna Niat
Lafadz niat yang tercantum dalam firman Allah 'azza wa jalla atau yang digunakan dalam syariat
mengandung dua makna. Pertama, niat yang berkaitan dengan ibadah itu sendiri dan yang kedua
bermakna niat yang berkaitan dengan Zat yang disembah (objek/sasaran peribadatan). Maka niat
itu ada dua jenis:
Pertama, niat yang berkaitan dengan ibadah itu sendiri. Niat dengan pengertian semacam ini
sering digunakan ahli fikih dalam pembahasan hukum-hukum ibadah yaitu ketika mereka
menyebutkan syarat-syarat suatu ibadah, semisal perkataan mereka "Syarat pertama dari ibadah
ini adalah adanya niat" Niat dalam perkataan mereka tersebut adalah niat dengan makna yang
pertama, yaitu niat yang berkaitan dengan zat ibadah itu sendiri sehingga dapat dibedakan
dengan ibadah yang lain.
Jenis yang kedua, adalah niat yang berkaitan dengan Zat yang disembah (objek/sasaran
peribadatan) atau sering dinamakan dengan الخلص , yaitu memurnikan hati, niat dan amal
hanya kepada Allah 'azza wa jalla.
Kedua makna niat di atas tercakup dalam hadits ini. Maka maksud sabda Nabi shallallahu 'alaihi
wa sallam إنما العمال بالنيات adalah sesungguhnya keabsahan suatu ibadah ditentukan oleh niat,
yaitu niat yang membedakan ibadah tersebut dengan yang lain dan niat yang bermakna
mengikhlaskan peribadatan hanya kepada Allah. Sehingga tidak tepat pendapat yang mengatakan
bahwa niat yang dimaksud dalam hadits tersebut adalah niat yang bermakna ikhlas saja atau
pendapat yang mengatakan ikhlas tidak termasuk dalam perkataan ahli fikih ketika membahas
permasalahan niat.
-bersambung insya Allah-
***
Tingkat pembahasan: Dasar
Oleh: Syaikh Shalih bin Abdul Aziz Alu Syaikh
Diterjemahkan dengan beberapa penyesuaian oleh Abu Umair Muhammad Al Makasari (Alumni
Ma'had Ilmi)
Murojaah: Ust. Aris Munandar

Download pdf

0 komentar:

Posting Komentar