Kamu akan melihat Dunia, yang kejamnya tak pernah kamu kira
Kamu akan mengenal dunia yang tak seindah penglihatan mata
Dan ketika kamu sadar bahwa dirimu sudah dewasa, maka kamu ingin kembali ke
masa kecil, dimana kamu tak mengerti apa-apa, bermain-main dan suci tanpa dosa
Playing With Friend
21 Maret 2001
Gadis kecil berambut pendek itu
menaiki sebuah pohon jambu di depan rumahnya. Dia mencoba untuk meraih buah
yang sudah agak besar, dengan tubuh kecil memakai kaos dan celana pendeknya
dengan mudah ia bisa memanjat.
Riska. Nama gadis itu adalah Riska.
Dan baru saja menginjak usia ke-7, sehari yang lalu. Ia sangat gemar sekali
memanjat pohon dengan teman-temannya ia juga sering memanjat pohon tetangga karena
bagi dia itu adalah hal yang sangat menyenangkan. Rambut pendek sekilas seperti
anak laki-laki dan tubuhnya yang kurus kecil bukanlah karena ia kurang gizi
atau makanan. Tapi karena memang dia dilahirkan dengan tubuh yang kurus sejak
lahir. Riska adalah gadis yang sangat polos juga penakut, sehingga ia sering
dibohongi oleh teman-temannya dan beberapa kali uang jajannya rela ia berikan
kepada teman-temannya karena mereka mengambilnya dengan paksa. Tapi sama sekali
dia tidak pernah mengatakannya pada orangtua atau saudaranya. Kegemaran Rizka
adalah memanjat pohon dan bermain bersama teman-temannya. Terkadang Ia rela
memberikan uang jajan dan mainannya agar teman-temannya bermain dengannya.
Karena itu, Rizka selalu bermain sepulang sekolah bersama teman-temannya meski
bermainnya di ladang petani seperti mengambil tebu dan semangka atau terkadang
hanya berjalan-jalan di sawah dan duduk di gubuk kecil.
Ia berlarian di sawah bersama
teman-temannya memegang sebuah tas plastik hitam, yang didalamnya ada sebuah
ulat yang diambilnya dari gulungan-gulungan daun pisang. Awalnya dia takut
mengambil ulat itu, tapi demi membantu temannya mencarikan makan burung
perkutut ia membranikan diri melakukannya, dan rupanya itu menyenangkan.
Ulat-ulat hijau itu masih bergerak-gerak di dalam kantong plastik, entah berapa
puluh ulat yang ingin ia dapatkan tapi tidak setiap gulungan pisang itu
terdapat ulat. Rizka berlari-lari sambil tersenyum kepada temannya yang tengah
berlomba untuk mendapatkan ulat, beberapa orang melintas di hadapannya dengan
memandangnya secara aneh dan jijik karena bermain dengan ulat.
“Rizzkaa.... Rizka...” terdengar
seorang ibu setengah baya memanggilnya. “Iya bu....” berlari menghampiri
ibunya. “Ayo cepat pulang, jangan main terus... nanti Ayah marah karena kamu
gak belajar” menarik tangan Rizka untuk ikut dengannya pulang.
“Aku ngasih ulat ini ke Dwi dulu” berlari
menghampiri temannya.
“Kitakan belum selesai mainnya
Riz... aku masih punya sesuatu mainan rahasia yang ingin aku perlihatkan ke
kamu” membisikinya pelan. “Oh.. ya.. besok saja ya.. nanti ayahku bisa marah
kalau aku tidak belajar.. besok pasti aku bawa mainan baru dari ayahku” lalu menghampiri
ibunya.
Keluarga Rizka adalah keluarga yang
cukup terpandang. Ayahnya bekerja sebagai manajer sebuah perusahaan di kota
Semarang dan pulang sebulan sekali, Ibunya seorang ibu rumah tangga yang
pekerjaannya berbelanja dan berjalan-jalan dengan teman-temannya sehingga tidak
sempat memperhatikan anak-anaknya di rumah, ia hanya akan ada di rumah jika
suaminya pulang jadi suaminya tidak mengetahui bahwa istrinya sering keluar
rumah. Rizka mempunyai kakak perempuan dan kakak laki-laki yang jarang juga di
rumah. Sedangkan pekerjaan rumah di kerjakan oleh pembantu yang sudah
dianggapnya seperti ibunya sendiri karena sangat memperhatikan Rizka melebihi
ibu kandungnya.
“Kamu itu main-main dengan
anak-anak gak jelas, gak pernah belajar..!! nilai ulangan 0. Mau jadi apa kamu
nanti...” teriak Ayahnya saat Rizka baru sampai di rumah. “Sudah Ayah.. kasihan
Rizka baru sampai rumah, biarkan dia istirahat makan dan mandi dulu, baru
setelah itu belajar” bela ibunya.
“Kamu itu bela anak-anak terus,
makanya mereka itu sekarang jadi manja. Dimana Rifa dan Roni, mereka juga tidak
ada di rumah sudah sesore ini.” Melihat kehalaman rumah.
“Riz... kamu makan dan mandi sama
bibi dulu ya...” kata ibunya pelan. Ibu dan ayahnya masih bercakap-cakap di
halaman rumah lalu pergi keluar.
Rizka masuk kerumah menemui
bibinya. “Bi... aku mau mandi air hangatnya dah ada belum?”
“belum... sambil saya rebuskan air
non makan dulu saja” jawab bibinya sambil mempersiapkan air hangat. “Tadi Rizka
dah makan ditempatnya Dwi bi.. enak banget deh makanannya padahal Cuma telur di
campur kecap trus di goreng”. Cerita rizka. “Aduh non... gak baik makan
ditempatnya orang, apalagi nanti kalau ibu dan ayah non tahu, nanti dikiranya
non itu gak dikasih makan di rumah” nasehat bibinya.
“Cuma makan dirumah temen masak gak
boleh bi...? eh mas roni kemana kok gak ada bi. Tadi bukannya tidur siang ma
ibu ya?” tanya Rizka.
“Kasihan merepotkan orang tuanya
Dwi nanti, Mas Roni kabur dari jendela lagi.. waktu semuanya pada tidur siang”.
Cerita bibi.
“Wah gawat dong bi... kejadian
kemaren bisa terulang dong... Ayah pasti marah” wajahnya gelisah. “bibi ga tahu
non.. udah ayo ni dah hangat, cepet mandi” kata bibi menuju kamar mandi
mempersiapkan air hangat.
Malam itu begitu sunyi, semua anggota
keluarga berkumpul di ruang tamu. Hanya Roni berbaring tertelungkup di lantai
dengan punggung terbuka. “Bukk.... Bukkkk... Bukkk..” suara kayu yang di
pukulkan di punggungnya... “Kamu itu kapan kapoknya.. sudah Ayah bilang tidur
siang, malah kabur lewat jendela. Kamu itu sudah SMP Mau jadi jagoan hemm?”
bentak ayah. “Buk...Buk....Buk...” suara pukulan itu berulang-ulang. Tangisan Roni
sesunggukan tidak menghentikan ayahnya memukulnya. Roni hanya bisa menangis
tanpa berkata kata maaf ataupun minta ampun pada ayahnya. Baginya pukulan itu
sudah biasa ia rasakan, karena sudah beberapa kali dia melompat jendela untuk
menghindari tidur siang yang menurutnya tidak menyenangkan, dan pergi bersama
teman-temannya. Ibunya tak kuasa melihat kejadian itu lagi, ia hanya bisa
bersedih dan membujuk Roni setelah hukuman itu selesai agar tidak melawan
ayahnya.
Setelah selesai semua masuk ke
kamar masing-masing, Rizka yang masih takut tidur sendirian lebih memilih tidur
bersama bibinya dibanding bersama ibu dan ayahnya. “Bi.. kenapa mas Roni
dipukul kalau tidak tidur siang, sedangkan Rizka dan mbak Rifa tidak pernah
dipukuli meski tidak tidur siang?” tanya Rizka dengan polos. “Mas Roni itukan
anak laki-laki dan sudah SMP, kalau banyak main nanti khawatirnya bergaul
dengan teman-teman yang tidak baik. Kalau mbak Rifa kan perempuan sudah SMA
bisa memilih teman.” Nasehat bibinya sambil menyetrika baju di kamar. Rizka
mencoba memejamkan matanya, tapi ia masih terbayang kakaknya yang masih
kesakitan dipukuli. Ia takut kejadian itu terjadi lagi dan mungkin dia juga
bisa mengalaminya.
Pagi ini tidak begitu cerah, Rizka
yang biasanya sudah bersepeda pagi menikmati liburan bersama teman-temannya
harus menyiapkan diri belajar bersama keponakannya yang sekaligus tetangga juga teman sekelasnya. Papan hitam sengaja Ayah persiapkan di ruang tamu untuk mengajari
Riska dan Dendi.
“Ayo Dendi.. 1x1 berapa? 2x2 , 3x3..
Rizka... 1x0, 2x1, 3x3 berapa?”? Tanya ayah.
“1, 4, 9” jawab Dendi dengan cepat.
“emmmmm... berapa ya... sebentar...
1, emmmmmm 3 dan 9” jawab Riska dengan ragu dan mengucap angka 9 dengan keras,
karena ia hanya hafal perkalian 3 x 3, berulang-ulang ayahnya menanyainya hasil
perkalian, namun berulang kali juga Rizka tidak bisa menjawab kecuali 3 x 3 dan
Dendi berhasil menjawab dengan cepat.
“Kamu itu, bodoh sekali.. lihat
Dendi itu pintar jawabannya benar semua, kebanyakan main. Ayo perkalian
dihafalkan dulu, tidak boleh main kalau perkalian belum hafal” dengan suara
tinggi. Setiap belajar dengan Dendi dan Ayahnya, selalu saja Riska di marahi
dan Dendi dipuji-puji. Seringkali ia iri kepada Dendi karena selalu dipuji oleh
Ayah dan guru di sekolahannya. Dengan kebodohan Riska, Dendi seringkali
membohonginya pernah ia menukar uang Riska Rp 100 dengan uangnya Rp 25. Ia mengatakan
pada Rizka bahwa uang itu lebih banyak dari punya Rizka. Namun terlalu
bodohnya, Rizka tidak tahu dan menjajakannya, namun ibu kantin dengan halus
mengatakan pada Riska bahwa uangnya tidak cukup untuk dibelikan jajan. Karena Rizka
yang terlalu polos dan pendiam, ia sama sekali tidak marah pada Dendi, ia tahu
bahwa Dendi membohonginya namun itu tidak membuatnya mengadu pada orang tua
bahkan pada guru, hanya dia simpan sendiri dan ini kesekian kalinya ia
dibohongi bahkan oleh saudaranya sendiri, karena menurutnya itu adalah kesalahannya sendiri yang terlalu mudah dibohongi.
0 komentar:
Posting Komentar