Kamis, 25 Oktober 2012

Dunia Kecil Rizka


Kamu akan melihat Dunia, yang kejamnya tak pernah kamu kira
Kamu akan mengenal dunia yang tak seindah penglihatan mata

Dan ketika kamu sadar bahwa dirimu sudah dewasa, maka kamu ingin kembali ke 
masa kecil, dimana kamu tak mengerti apa-apa, bermain-main dan suci tanpa dosa  
  

 Part 1
Playing With Friend

21 Maret 2001
Gadis kecil berambut pendek itu menaiki sebuah pohon jambu di depan rumahnya. Dia mencoba untuk meraih buah yang sudah agak besar, dengan tubuh kecil memakai kaos dan celana pendeknya dengan mudah ia bisa memanjat.
Riska. Nama gadis itu adalah Riska. Dan baru saja menginjak usia ke-7, sehari yang lalu. Ia sangat gemar sekali memanjat pohon dengan teman-temannya ia juga sering memanjat pohon tetangga karena bagi dia itu adalah hal yang sangat menyenangkan. Rambut pendek sekilas seperti anak laki-laki dan tubuhnya yang kurus kecil bukanlah karena ia kurang gizi atau makanan. Tapi karena memang dia dilahirkan dengan tubuh yang kurus sejak lahir. Riska adalah gadis yang sangat polos juga penakut, sehingga ia sering dibohongi oleh teman-temannya dan beberapa kali uang jajannya rela ia berikan kepada teman-temannya karena mereka mengambilnya dengan paksa. Tapi sama sekali dia tidak pernah mengatakannya pada orangtua atau saudaranya. Kegemaran Rizka adalah memanjat pohon dan bermain bersama teman-temannya. Terkadang Ia rela memberikan uang jajan dan mainannya agar teman-temannya bermain dengannya. Karena itu, Rizka selalu bermain sepulang sekolah bersama teman-temannya meski bermainnya di ladang petani seperti mengambil tebu dan semangka atau terkadang hanya berjalan-jalan di sawah dan duduk di gubuk kecil.
Ia berlarian di sawah bersama teman-temannya memegang sebuah tas plastik hitam, yang didalamnya ada sebuah ulat yang diambilnya dari gulungan-gulungan daun pisang. Awalnya dia takut mengambil ulat itu, tapi demi membantu temannya mencarikan makan burung perkutut ia membranikan diri melakukannya, dan rupanya itu menyenangkan. Ulat-ulat hijau itu masih bergerak-gerak di dalam kantong plastik, entah berapa puluh ulat yang ingin ia dapatkan tapi tidak setiap gulungan pisang itu terdapat ulat. Rizka berlari-lari sambil tersenyum kepada temannya yang tengah berlomba untuk mendapatkan ulat, beberapa orang melintas di hadapannya dengan memandangnya secara aneh dan jijik karena bermain dengan ulat.
“Rizzkaa.... Rizka...” terdengar seorang ibu setengah baya memanggilnya. “Iya bu....” berlari menghampiri ibunya. “Ayo cepat pulang, jangan main terus... nanti Ayah marah karena kamu gak belajar” menarik tangan Rizka untuk ikut dengannya pulang.
“Aku ngasih ulat ini ke Dwi dulu” berlari menghampiri temannya.
“Kitakan belum selesai mainnya Riz... aku masih punya sesuatu mainan rahasia yang ingin aku perlihatkan ke kamu” membisikinya pelan. “Oh.. ya.. besok saja ya.. nanti ayahku bisa marah kalau aku tidak belajar.. besok pasti aku bawa mainan baru dari ayahku” lalu menghampiri ibunya.
Keluarga Rizka adalah keluarga yang cukup terpandang. Ayahnya bekerja sebagai manajer sebuah perusahaan di kota Semarang dan pulang sebulan sekali, Ibunya seorang ibu rumah tangga yang pekerjaannya berbelanja dan berjalan-jalan dengan teman-temannya sehingga tidak sempat memperhatikan anak-anaknya di rumah, ia hanya akan ada di rumah jika suaminya pulang jadi suaminya tidak mengetahui bahwa istrinya sering keluar rumah. Rizka mempunyai kakak perempuan dan kakak laki-laki yang jarang juga di rumah. Sedangkan pekerjaan rumah di kerjakan oleh pembantu yang sudah dianggapnya seperti ibunya sendiri karena sangat memperhatikan Rizka melebihi ibu kandungnya.
“Kamu itu main-main dengan anak-anak gak jelas, gak pernah belajar..!! nilai ulangan 0. Mau jadi apa kamu nanti...” teriak Ayahnya saat Rizka baru sampai di rumah. “Sudah Ayah.. kasihan Rizka baru sampai rumah, biarkan dia istirahat makan dan mandi dulu, baru setelah itu belajar” bela ibunya.
“Kamu itu bela anak-anak terus, makanya mereka itu sekarang jadi manja. Dimana Rifa dan Roni, mereka juga tidak ada di rumah sudah sesore ini.” Melihat kehalaman rumah.
“Riz... kamu makan dan mandi sama bibi dulu ya...” kata ibunya pelan. Ibu dan ayahnya masih bercakap-cakap di halaman rumah lalu pergi keluar.
Rizka masuk kerumah menemui bibinya. “Bi... aku mau mandi air hangatnya dah ada belum?”
“belum... sambil saya rebuskan air non makan dulu saja” jawab bibinya sambil mempersiapkan air hangat. “Tadi Rizka dah makan ditempatnya Dwi bi.. enak banget deh makanannya padahal Cuma telur di campur kecap trus di goreng”. Cerita rizka. “Aduh non... gak baik makan ditempatnya orang, apalagi nanti kalau ibu dan ayah non tahu, nanti dikiranya non itu gak dikasih makan di rumah” nasehat bibinya.
“Cuma makan dirumah temen masak gak boleh bi...? eh mas roni kemana kok gak ada bi. Tadi bukannya tidur siang ma ibu ya?” tanya Rizka.
“Kasihan merepotkan orang tuanya Dwi nanti, Mas Roni kabur dari jendela lagi.. waktu semuanya pada tidur siang”. Cerita bibi.
“Wah gawat dong bi... kejadian kemaren bisa terulang dong... Ayah pasti marah” wajahnya gelisah. “bibi ga tahu non.. udah ayo ni dah hangat, cepet mandi” kata bibi menuju kamar mandi mempersiapkan air hangat.
Malam itu begitu sunyi, semua anggota keluarga berkumpul di ruang tamu. Hanya Roni berbaring tertelungkup di lantai dengan punggung terbuka. “Bukk.... Bukkkk... Bukkk..” suara kayu yang di pukulkan di punggungnya... “Kamu itu kapan kapoknya.. sudah Ayah bilang tidur siang, malah kabur lewat jendela. Kamu itu sudah SMP Mau jadi jagoan hemm?” bentak ayah. “Buk...Buk....Buk...” suara pukulan itu berulang-ulang. Tangisan Roni sesunggukan tidak menghentikan ayahnya memukulnya. Roni hanya bisa menangis tanpa berkata kata maaf ataupun minta ampun pada ayahnya. Baginya pukulan itu sudah biasa ia rasakan, karena sudah beberapa kali dia melompat jendela untuk menghindari tidur siang yang menurutnya tidak menyenangkan, dan pergi bersama teman-temannya. Ibunya tak kuasa melihat kejadian itu lagi, ia hanya bisa bersedih dan membujuk Roni setelah hukuman itu selesai agar tidak melawan ayahnya.
Setelah selesai semua masuk ke kamar masing-masing, Rizka yang masih takut tidur sendirian lebih memilih tidur bersama bibinya dibanding bersama ibu dan ayahnya. “Bi.. kenapa mas Roni dipukul kalau tidak tidur siang, sedangkan Rizka dan mbak Rifa tidak pernah dipukuli meski tidak tidur siang?” tanya Rizka dengan polos. “Mas Roni itukan anak laki-laki dan sudah SMP, kalau banyak main nanti khawatirnya bergaul dengan teman-teman yang tidak baik. Kalau mbak Rifa kan perempuan sudah SMA bisa memilih teman.” Nasehat bibinya sambil menyetrika baju di kamar. Rizka mencoba memejamkan matanya, tapi ia masih terbayang kakaknya yang masih kesakitan dipukuli. Ia takut kejadian itu terjadi lagi dan mungkin dia juga bisa mengalaminya.
Pagi ini tidak begitu cerah, Rizka yang biasanya sudah bersepeda pagi menikmati liburan bersama teman-temannya harus menyiapkan diri belajar bersama keponakannya yang sekaligus tetangga juga teman sekelasnya. Papan hitam sengaja Ayah persiapkan di ruang tamu untuk mengajari Riska dan Dendi.
“Ayo Dendi.. 1x1 berapa? 2x2 , 3x3.. Rizka... 1x0, 2x1, 3x3 berapa?”? Tanya ayah.
“1, 4, 9” jawab Dendi dengan cepat.
“emmmmm... berapa ya... sebentar... 1, emmmmmm 3 dan 9” jawab Riska dengan ragu dan mengucap angka 9 dengan keras, karena ia hanya hafal perkalian 3 x 3, berulang-ulang ayahnya menanyainya hasil perkalian, namun berulang kali juga Rizka tidak bisa menjawab kecuali 3 x 3 dan Dendi berhasil menjawab dengan cepat.
“Kamu itu, bodoh sekali.. lihat Dendi itu pintar jawabannya benar semua, kebanyakan main. Ayo perkalian dihafalkan dulu, tidak boleh main kalau perkalian belum hafal” dengan suara tinggi. Setiap belajar dengan Dendi dan Ayahnya, selalu saja Riska di marahi dan Dendi dipuji-puji. Seringkali ia iri kepada Dendi karena selalu dipuji oleh Ayah dan guru di sekolahannya. Dengan kebodohan Riska, Dendi seringkali membohonginya pernah ia menukar uang Riska Rp 100 dengan uangnya Rp 25. Ia mengatakan pada Rizka bahwa uang itu lebih banyak dari punya Rizka. Namun terlalu bodohnya, Rizka tidak tahu dan menjajakannya, namun ibu kantin dengan halus mengatakan pada Riska bahwa uangnya tidak cukup untuk dibelikan jajan. Karena Rizka yang terlalu polos dan pendiam, ia sama sekali tidak marah pada Dendi, ia tahu bahwa Dendi membohonginya namun itu tidak membuatnya mengadu pada orang tua bahkan pada guru, hanya dia simpan sendiri dan ini kesekian kalinya ia dibohongi bahkan oleh saudaranya sendiri, karena menurutnya itu adalah kesalahannya sendiri yang terlalu mudah dibohongi.

0 komentar:

Posting Komentar